http://radarsukabumi.com/?p=153565
Oleh Ade Fathurahman
Oleh Ade Fathurahman
Wakasek Bidang Humas SMANSA Sukabumi
Tema tulisan yang urgen dan kontekstual dibidang pendidikan pada saat-saat ini adalah tema yang berkenaan dengan antisipasi proses pembodohan dalam proses pengenalan lingkungan pendidikan pada mahasiswa/i serta siswa/i baru.
Beberapa kali, jurus pembelaan pun dikemukakan oleh kalangan yang berkepentingan mempertahankan eksistensi kegiatan tersebut.
Menggelikan, ketika kita melegalkan sebuah kegiatan yang landasan historis, filosofis dan teoritisnya bermasalah.
Ketiga landasan itu harus digali, karena kesadaran kta bahwa kegiatan apapun yang dilakukan di lingkungan pendidikan harus mengindahkan acuan yang tertera pada tujuan pendidikan itu sendiri.
Tujuan pendidikan secara umum adalah memanusiakan manusia, dimana dalam lingkup ke-Indonesiaan pada hakikatnya bertujuan menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Konsep Manusia Indonesia Seutuhnya itulah yang kemudian dicirikan dengan berbagai indikator dalam Tujuan pendidikan Nasional kita yang bertujun : "Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan."
Jadi berhati-hatilah, jika kita memasukkan sebuah kegiatan ke persekolahan, apalagi yang berkenaan dengan pemahaman Wawasan Wiyata Mandala kepada peserta didik yang akan dijadikan siswa dalam proses berpikir, bersikap dan bertindaknya selama menuntut ilmu disatuan pendidikan yang ada.
Kegiatan semacam MOS dan OPSPEK adalah suatu kegiatan yang dikenal di lingkungan dnja pendidikan formal kita sebagai Wawasan Wiyata Mandala (silahkan baca di artikel lain)
Berkenaan dengan kegiatan MOS, OPSPEK dan yang sejenisnya, marilah kita kaji bersama relevansinya dengan Wawasan Wiyata Mandala yang sebenarnya.
Mari kita mulai dengan mencoba membaca kembali. referensi tentang landasan historis kegiatan tersebut untuk menjawab satu poin penting sebagai jawaban atas pertanyaan : "Sejak kapankah kegiatan sejenis Mapras, Malam inagurasi, OPSPEK, Pembaretan (SMK teknologi), MOPD, OKD, MOS dianggap begitu penting dilaksanakan di Institusi-institusi Pendidikan di Indonesia ?" Jawaban alternatif semetara yang bisa saya sampaikan adalah "sejak zaman Penjajahan Belanda. Tepatnya Agresi I." Silahkan recheck referensi yang lain yang anda temukan.
Selanjutnya, landasan filosofis dari kegiatan yang sedang kita bahas pun mestinya kita gali yang relevansinya kita kaitkan dengan landasan historis tadi. Pertanyaan yang muncul berkenaan dengan hal tersebut : "Substansi apa yang ingin dikristalisasikan dan diharapkan dampaknya pada kegiatan Orientasi Peserta Didik dan sejenisnya pada saat pertama kali digulirkan pada sejarah lahirnya kegiatan tersebut pada masa lalu ?"
Untuk sementara, jawaban alternatif saya tentang hal tersebut adalah tercapainya nuansa feodalistik yang bersinergi dengan budaya kerajaan di dunia pendidikan, yang tentu saja, bersebrangan dengan budaya berpikir, bersikap dan bertindak di lembaga keilmuan yang sangat egaliter. Banyak referensi berita dari tahun ketahun menampakkan nuansa otoritas senior atas juniornya yang kebablasan pada kegiatan tersebut. Beberapa kasus yang menyebabkan korban lika-luka dan hilangnya nyawa terungkap dari tuntutan keluarga korban yang kebetulan sukses dipublikasi para awak media masa. Artinya, bukan tidak mungkin, masih banyak kasus lain yang belum dan tidak terungkap dalam jumlah yang tidak bisa kita prediksi secara gegabah.
Landasan lain yang harus kita pertimbangkan dalam permasalahan yang berkenaan dengan kegiatan yang sedang kita bahas adalah landasan teoritis.
Sebuah yang jawaban harus kita didapatkan dari landasn teoritis adalah : "Landasan teoritis apakah gang menyebabkan kegiatan sejenis MOS dan OPSPEK dirasakan harus diadakan pada sat lahirnya kegiatan tersebut ?"
Jawaban sementara saya terhadap pertanyaan tersebut diatas adalah Landasan teori yang dipakai pada kegiatan tersebut adalah Teori Kemiliteran yang memandang perlu adanya pemahaman peserta didik tentang garis komando yang menuntut loyalitas tinggi dan penumbuhan jiwa corsa yang menuntut pengorbanan tak terbatas bagi kelompok.
Jadi persoalan yang terjadi adalah disharmoni antara tujuan pembentukan insan-insan sipil/ non-militer di lembaga-lembaga pendidikan non-militer yang mengadopsi teori kemiliteran yang memang duniab pendidikannya dilegalkan dan mengharuskan melakukan pembasisan terhadap calon tamtama, bintara serta perwiranya berdasarkan tuntutan pembelaan terhadap negara dikesehariannya.
Maka, setelah mengkaji tiga landasan tersebut, saya menyerahkan kepada anda semua praktisi pendidikan, pengamat serta kementerian dan kedinasan yang bersinggungan dengan pendidikan untuk memilih dengan bebas, apapun pilihan kita kedepan tentang jegiatan MOS, dan yang sejenis. Tentunya, dengan tetap memperhatikan kepentingan orientasi itu perlu, karena Wawasan Wiyata Mandala.adalah keharusan bagi siswa gang kedepannya disiapkan untuk hidup bermasyarakat.
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membacanya. Sangat saya hargai, jika anda mengisi kolom komentar disini.