Paparan ini menegaskan bahwa bagi yang berpegang teguh pada ru'yatul hilal dengan menggunakan mata telanjang adalah sebuah kewajiban (berkeyakinan. sebagai rukun) harus semakin berhati-hati.
Pada sisi lain, sisi pendapat ormas yang memiliki penafsiran atas kata "melihat" hilal pada penentuan awal bulan baru, khususnya Awal Ramadlan sebagai perintah "melihat yg disesuaikan dengan perkembangan teknologi", maka kejadian diatas sudah terpredikasikan, sehingga kewajiban melihat dengan mata telanjang bukan bagian rukun disisi pendapat ini (bisa dibantu teknologi berupa alat/perangkat).
Kesimpulan yang saya dapat adalah Keabadian Ikhtilaf atas penafsiran "ru'yatul hilal" tersajikan diruang khazanah keilmuan kita.
Selanjutnya diskusi tentang hal ini pun akan semakin meluas dan mengembang, jika diteruskan dengan perintah seterusnya untuk menggenapkan, jika kita tak melihat hilal dengan mata telanjang (fa in ghumma fawaahiidatan). Kesimpulan awal bulan baru berdasarkan penggenapan sebelumnya atau berdasarkan ru'yatul hilal dengan bantuan alat.
Wallaahu 'alam.
@thurGeo
Sepertinya hal-hal seperti ini juga harus menjadi kajian-kajian populer di masyarakat, melalui paparan-paparan yang sederhana dan dapat dimengerti kalangan luas. Paparan-paparan Ilmiah yang sepertinya menjadi keahlian khusus para pakar setingkat Prof. Thomas Djamaluddin atau Prof. Fahmi Amhar.
Sunnatullaah, dinamika dari sebuah peradabanmanusia.
ReplyDelete