Tulisan ini merupakan kelanjutan
tulisan saya sebelumnya tentang Kebersyukuran kita sebagai
sekelompok manusia yang dianugrahi iklim tropis (Berita
Disdik - Bersyukur Masih Diberi Waktu dan Bertemu Matahari). Penajaman melalui
interelasi (keterkaitan) antar fenomena di permukaan bumi, baik fisik
(alamiah), maupun yang sosial (aktifitas manusia).
Setelah sebelumnya disampaikan bahwa secara Geografi bahwa Perang dunia
Ke-2 antara Sekutu yang dikomandani Amerika Serikat melawan Jepang, selain
dilandasi oleh letak strategis beberapa wilayah dunia, seperti halnya Kepulauan
Hawai. Saya melihat ada hal lain tentang Kepulauan Hawai yang memang berada di
tengah Samudera Pasifik, yakni Kepulauan yang berada di Iklim Tropis. Saya
melihat ada perebutan energi Matahari dalam peperangan ini. energi yang
diartikan sebagai tenaga yang tidak sebatas tenaga alternatif pengganti BBM
atau listrik yang dikenal sekarang, melainkan sebagai bahan energi bagi
kehidupan manusia, khususnya kesehatan.
Hal
yang mendasari prediksi diatas adalah fakta bahwa sebagian besar dari Wilayah
Amerika Serikat berada dalam satu daratan, Disamping itu, sebagian lagi
yang berbatasan dengan Kanada berada di iklim Sedang Utara. Fakta yang lain
adalah Wilayah Jepang yang, walaupun merupakan Gugusan Pulau-pulau, tetapi
nyaris seluruhnya terletak di wilayah Iklim Sedang Utara. Iklim sedang yang
menjadikan manusia-manusianya secara determinis beradaptasi dengan cuaca
ekstrim musim dingin selam 3 bulan yang nyaris tanpa matahari.
Fakta-fakta geografis diatas menjadikan kepentingan akan Kepulauan Hawai
menjadi sangat penting, dimana peperangan yang sebelumnya didasari faham
kemanusiaan memerangi idiologi fasisme Jepang bisa jadi menjadi kepentingan
yang tercampuri oleh kepentingan yang lain, sebut saja Kepemilikan atas
Kepulauan Hawai yang identik dengan rayuan eksotisnya iklim tropis yang kaya
sinar matahari. Menjadi semakin relevan, jika Jepang habis-habisan melawan
Sekutu (beberapa negara Eropa dengan Komandannya Amerika Serikat) memilih
Simbol dalam Benderanya dengan Simbol Matahari sesuai dengan Ajaran Shinto-nya.
Setidaknya kita mengenal bebrapa kisah heroik tentara jepang yang
mempertontonkan budaya Harakiri dan kamikaze yang menakutkan bagi pihak sekutu.
Sepertinya Perang dunia Ke-II tak akan pernah berakhir tanpa tragedi
kemanusian BOM Hiroshima dan Nagasaki 1945. Suatu Peristiwa kemanusiaan yang
telah memporak-porandakan patriotisme tentara Jepang di berbagai negara Asia
yang didudukinya, Akhir peperangan inilah yang kemudian mempersembahkan pada
dunia jumlah negara serikat Amerika menjadi 50. Dimana Amerika Serikat sekarang
inimmemiliki 48 Negara bagian dalam satu kesatuan wilayah dan 1 negara bagian
lain terpisah oleh Kanada (Alaska) serta Kepulauan Hawai yang terletak nun jauh
di tengah-tengah Samudera Pasifik.
Lalu apa yang bisa dipetik dari naarasi diatas, diantaranya adalah
kepentingan manusia dibumi akan sinar matahari tak terbantahkan, bahkan
menelikung pada pertarungan politik yang semulanya berkutat pada masalah
ekspansi idiologi. Yang kita tahu sekarang adalah para turis musim dingin Iklim
Sedang Belahan Bumi Utara asal Amerika Serikat mendapatkan kemudahan
berkunjung menemui Sinar Matahari Tropis yang kaya Vitamin D di Kepulauan Hawai
tanpa visa kunjungan wisata selama bertahun-tahun Pasca PD II, karena serasa
mengunjungi bagian dari negaranya sendiri.
Sangat ironis, jika fakta diatas dihubungkan dengan keadaan sebagian
masyarakat tropis seperti kita yang tidak begitu memperhatikan betapa
pentingnya matahari. Sebagian masyarakat kita yang tak pernah merenung
(berkontemplasi) bersyukur dengan keberadaan matahari yang senantiasa bersinar
sepanjang tahun. Vitamin D yang senantiasa dihasilkan matahari serta kemudahan
mendapatkannya yang terabaikan sebagian masyarakat kita.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, budaya berjemur pada pagi hari di
luar rumah yang diturun-temurunkan para leluhur kita, khususnya yang petani
sepertinya juga bersadarkan pada pengalaman hidup mereka atas manfaat
yang didapatkan dari sinar matahari pagi. Tentu saja ini berbeda dengan
kebiasaan para nenek moyang kita yang pelaut, karena harus pergi pada malam
hari dan pulang pada dini hari bekerja sepanjang malam).
Jika membandingkan dari dua kebiasaan leluhur/ nenek moyang kita itu
sepertinya saya yakin bahwa kegiatan nelayan yang bekerja pada malam hari
dengan mempergunakan angin darat pada pemberangkatan dan menggunakan angin laut
pada saat pulang dari bekerja di laut semalaman hanya merupakan sebuah tuntutan
kondisi alam. Jiak pun seandainya dahulu sudah diketemukan motor untuk perahu
nelayan, sepertinya mereka akan memilih jadwal kerja normal seperti petani
(terlalu bergantung pada perubahan arah angin).
Pada Proses
KBM saya senantiasa mengingatkan kepada para siswa dan khususnya diri sendiri
tentang betapa pentingnya prepare (persiapan) dalam berbagaikegiatan yang kita
jalani. Jika pun kita menjadi yang seseorang yang melaksanakan akselerasi,
minimal kita bisa menjalankan kewajiban sedikit diatas rata-rata minimum yang
ditargetkan, Berkenaan dengan pola aktifitas KBM didominasi pada waktu siang
hari, maka sudah sewajarnya persiapan KBM di siang hari itu harus dilakukan
sejak semalam sebelumnya.
Mengacu
pada targetan dari capaian kegiatan KBM pada siang hari di hari berikutnya,
maka saya menegaskan bahwa keberhasilan atas kegiatan esok hari itu sangat bergantung
pada persiapan yang dilakukan pada malam hari sebelumnya. Kecukupan tidur yang
merupakan kebutuhan mendasar manusia normal, sudah selayaknya harus dilakukan
dengan perjuangan sepenuh hati. Tentu saja "BUDAYA BEGADANG" yang
saat ini sudah menjadi karakteristik yang mengglobal di kalangan pelajar masa
kini harus dihindari. Rasionalisasi atas hal tersebut sangat sederhana, bila
kita menyadari kebutuhan organ tubuh kita sebagai manusia untuk mendapatka
istirahat yang cukup pada waktu yang tepat.
Berbagai
kearifan budaya, maupun pengajaran keagamaan memberikan sinyal kepada kita
betapa uadara malam kurang bersahabat terhadap tubuh manusia.Maka, sudah
barang tentu segala kegiatan yang tidak terlalu penting pada malam hari harus
dihindari. Kendali diri terhadap hasrat untuk begadang harus dihindari.
Sebaliknya, kesiapan diri menyambut pagi hari yang penuh dengan energi matahari
yang dianugrahkan Tuhan atas Wilayah Tropis harus tanpa gangguan budaya
begadang.
Pada saat ini sepertinya
begadang sudah menjadi hal yang membudaya dikalangan pelajar, mungkin salah
satunya, karena waktu luang yang mereka miliki diluar kesibukan KBM dan Ekskur
dimulai selepas terbenam matahari hingga dini hari. Tawaran untuk “refreshing
by playing a game” semisal PG dan ML lebih menjanjikan dilakukan pada saat yang
bertabrakan dengan waktu kebersamaan dengan keluarga dan waktu istirahat (termasuk
tidur).
Jika di interelasikan
secara berantai, maka bisa saja budaya begadang dikalangan pelajar menjadi
salah satu yang mengkontribusi ketidak-siapan mereka didalam melaksanakan KBM secara optimal. Selanjutnya ketidak-siapan para
pelajar untuk melaksanakan KBM secara optimal dapat diduga berkontribusi secara
signifikan pada hasil belajar yang tidak sesuai dengaan capaian pembelajaran sesuai yang direncanakan.
Pada kajian sintesis yang lebih jauh,
bisa saja menjadi penyebab utama rendahnya mutu lulusan di akhir pembalajaran, baik dalam
cakupan waktu tahun pelajaran, fase ataupun dalam satu jenjang satuan
pendidikan (sekolah Mengah atas.)
BERSAMBUNG
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membacanya. Sangat saya hargai, jika anda mengisi kolom komentar disini.