Kepemimpinan yg pernah ada dlm Islam masa pasca kenabian adalah Karakteristik yg berdasarkan pada perintah "syuro bainahum"
Syuro yg diwakili oleh kabilah atau bani2 yg ada, pra bai'at. Sama sekali jauh dari kultur individu atau kerajaan. Begitu pun yang terjadi pada agama-agama resmi yg lain yg telah menjadi agama2 resmi di negara kita ini. Apakah sistem token di Papua harus menjadi satu-satunya soko guru, padahal masyarakat Baduy pun sangat mempercayai pilihan pimpinnya atas kepemimpinan nasional. Sepertinya para penganut Katolik pun percaya akan pilihan para pastor yg ada di MAWI berkenaan denga kepemimpinan nasional. Sepertinya keadaannya akan sama, secara umum para penganut Hindu pun akan taat pada Fatwa Parishada Hindu seperti umumnya para penganut Budha pada WALUBI dan umumnya penganut Kristen Protesten pada DGI.
Maka prinsip permusyawaratan perwakilan itu tidak tiba-tiba muncul di sila dasar negara kita, jika tidak terlibat didalamnya para tokoh-tokoh agama, termasuk para ulama berdasarkan tamsil2 sejarah yang diqiyashkan/analogikan.
Realitas "One man one vote" pada PILPRES DAN PILKADA merupakan bukti sukses infiltrasi praktek Demokrasi liberal pada sistem pemilihan kepemimpinan dinegara yang berdasarkan Pancasila ini, khususnya sila ke -4.
Realitas yg telah menjafi jadi pintu masuk bagi fitnah dan adu domba dari polarisasi antar elemen masyarakat yang tajam dan meluas.
One man one vote adalah adalah praktek Demokrasi liberal yg mengacu pada salah satu pilar revolusi sosial, yakni Egaliter/ kesejajaran yg radikal.
Akibatnya, nyaris semua pendukung one man one vote dlm PILPRES dan PILKADA berasumsi bahwa beban tanggung jawab penentuan kepemimpinan kolektif yg mencakup berbagai elemen bangsa memberikan tanggung jawab yang sama antara yg berilmu dan waras dengan masyarakat awam.
Dari sinikah, asal mulanya kita terjebak pada azas keadilan yg picik yang bertentangan dengan keadilan proporsional yg dianut oleh kita yg berakar dari masyarakat berkepercayaan/ beragama selama berabad-abad sebelumnya.
Masyarakat yg hanya punya kapasitas memikirkan keluarganya pun terjebak pada suasana egalitarian seraya meruntuhkan karakteristik budaya kita yg patternalistik.
Kepercayaan dan Resiko politik yg sebisanya diserahkan kewenangannya serta tanggung jawabnya pada sekelompok kecil tokoh yg merefresentsikan segenap elemen bangsa beralih menyebar pada semua masyarakat dewasa. Tidak aneh, jika konflik yg terjadi akibat peralihan hak dan tanggung jawab dari refrentasi ke individual ini, mengalihkan pula konflik meluas pada berbagai strata beserta dengan peningkatan kompleksitas permasakahannya. Sangat kompleks, tidak hanya pada ragam konflik saja, melainkan pada ragam kelompoknya.
Demokrasi yg selayaknya menjadi jalan keluar dari kungkungan sistem monarki yg jauh dari rasa keadilan ini pun bisa menjadi sintesa lahirnya kerinduan akan kepemimpinan yg otoritarian, sebagai akibat jenuhnya masyarakat pada ketidak-pastian (tahapan oklorasi di siklus polybius).
Maaf, agak kurang etis, jika saya katakan bahwa pendewasaan dalam perkara teknis untuk pengawalan suara pun menjadi berbalik jumud dari yg seharusnya semakin progresif. Betapa tidak, jika yg seharusnya efektifitas kotak suara yg seharusnya menunjukkan progress yang signifikan dari alumunium ke kaca anti peluru pun, pada kenyataannya berbalik ke mundur ke kardus.
Tapi, tanpa memperdulikan tulisan pada paragraf terakhir tadi, tetap saja menuntut keadilan pada sekelompok kecil masyarakat (refresentasi) lebih efektif mencegah bangsa terjebak dlm konflik horisontal, dibanding upaya menuntut keadilan pada lapisan masyarakat berbagai jenjang (sangat beragam kedewasaan berpolitiknya).
Jangan biarkan ibu Pertiwi menangis, merintih dan berdo'a, karena kita rentan menjadi domba-domba yg sedang bertengkar, dibawah incaran serigala-serigala imperialis energi hasil bumi dengan kekuatan hegemoninya, baik dari barat, maupun timur.
Pertanyaan selanjutnya, tanpa mengesampingkan kekurangan Orla dan orba, sepertinya kita harus belajar banyak pada periode ini tentang bagaimana merumuskan geopolitik Indonesia dikancah pergaulan dunia. Rumusan geopolitik (hankamrata) yang melindungi kedaulatan negeri ini.
Wallaahu 'alam.
Sukabumi, 29 Mei 2019
Ade Fathurahman
Kepercayaan dan Resiko politik yg sebisanya diserahkan kewenangannya serta tanggung jawabnya pada sekelompok kecil tokoh yg merefresentsikan segenap elemen bangsa beralih menyebar pada semua masyarakat dewasa. Tidak aneh, jika konflik yg terjadi akibat peralihan hak dan tanggung jawab dari refrentasi ke individual ini, mengalihkan pula konflik meluas pada berbagai strata beserta dengan peningkatan kompleksitas permasakahannya. Sangat kompleks, tidak hanya pada ragam konflik saja, melainkan pada ragam kelompoknya.
Demokrasi yg selayaknya menjadi jalan keluar dari kungkungan sistem monarki yg jauh dari rasa keadilan ini pun bisa menjadi sintesa lahirnya kerinduan akan kepemimpinan yg otoritarian, sebagai akibat jenuhnya masyarakat pada ketidak-pastian (tahapan oklorasi di siklus polybius).
Maaf, agak kurang etis, jika saya katakan bahwa pendewasaan dalam perkara teknis untuk pengawalan suara pun menjadi berbalik jumud dari yg seharusnya semakin progresif. Betapa tidak, jika yg seharusnya efektifitas kotak suara yg seharusnya menunjukkan progress yang signifikan dari alumunium ke kaca anti peluru pun, pada kenyataannya berbalik ke mundur ke kardus.
Tapi, tanpa memperdulikan tulisan pada paragraf terakhir tadi, tetap saja menuntut keadilan pada sekelompok kecil masyarakat (refresentasi) lebih efektif mencegah bangsa terjebak dlm konflik horisontal, dibanding upaya menuntut keadilan pada lapisan masyarakat berbagai jenjang (sangat beragam kedewasaan berpolitiknya).
Jangan biarkan ibu Pertiwi menangis, merintih dan berdo'a, karena kita rentan menjadi domba-domba yg sedang bertengkar, dibawah incaran serigala-serigala imperialis energi hasil bumi dengan kekuatan hegemoninya, baik dari barat, maupun timur.
Pertanyaan selanjutnya, tanpa mengesampingkan kekurangan Orla dan orba, sepertinya kita harus belajar banyak pada periode ini tentang bagaimana merumuskan geopolitik Indonesia dikancah pergaulan dunia. Rumusan geopolitik (hankamrata) yang melindungi kedaulatan negeri ini.
Wallaahu 'alam.
Sukabumi, 29 Mei 2019
Ade Fathurahman
postingan yang menarik membuka wawasan lebih luas
ReplyDeleteSumpah na oge mencerahkan sekali, ternyata asal usul demokrasi itu tidak seperti dari rakyat untuk rakyat
ReplyDeletePancasila itu dihalalkan, karena merujuk pada Qiyash terhadap Piagam Madinah yang kemudian Kalangan NU dan Matlahul Anwar,Al washliyah dan PUI menisbatkannya dalam lughah Alwahsatiyah... Sedangkan ormas seperti Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad menerjamahkannya dalam istilah Al Walii wal Aqdi
Delete