Materi Pelajaran Tata Negara Kelas 3 Jurusan IPS pada Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994 (12 Peminatan IPS, di K-13) memuat pengetahuan dasar ketata-negaraan yang cukup hebat. Terbukti, beberapa pengetahuan yang mendasar, baik historis, filosofis, maupun yuridis ketata-negaraan berbagai negara termaju disini.
Maka bukan hal yang aneh, jika lulusan Jurusan IPS produk kedua kurikulum ini (84 & 94) umumnya familiar dengan istilah-istilah siklus polibius beserta tahapan-tahapannya, Aliran-aliran tata negara berdasarkan kedaulatan beserta tokoh-tokohnya, walau tidak menyeluruh (parsial). Beberapa pembagian fungsi kelembagaan negara pun diperkenalkan, sehingga alumni IPS produk kurikulum ini, umumnya familiar, setidaknya pernah mengenal istilah-istilah lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Beberapa contoh negara pun dijelaskan di Mata Pelajaran Tata Negara ini. Maka, istilah catur praja dan tri praja pun menjadi bagian yang diajarkan dan familiar sebagai pengetahuan khas Jurusan IPS.
Mungkin saja, Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan saat ini telah menggantikan merangkum fungsi edukasi dari Mata Pelajaran Tata Negara ini kedalam pokok bahasan lainnya sebagai pelengkap dari kajian utamanya, membahas GEO politik NKRI.
Pada mata pembelajaran lainnya, di Mata Pelajaran Geografi (KBK, KTSP dan K-13), pembahasan negara disuguhkan dalam KD yang membahas tentang karakteristik negara berkembang dan negara maju yang secara khusus dikaitkan dengan kerja-sama yang terjadi diantara keduanya. Sepertinya, para perumus kurikulum ingin menyampaikan pesan edukasi tentang posisi NKRI dalam pergaulan dunia.
Kerjasama bilateral, regional, maupun multilateral telah berkembang sedemikian rupa, sehingga jenis kerjasama yang pada zaman dulu hanya berkutat pada masalah pelaksanaan kenegaraan (eksekutif), juga berkembang juga pada kerjasama bidang legislatif dan yudikatif serta kepolisian.
Mengingat betapa semakin spesifiknya jenis kerjasama yang dilakukan antar negara, sebagai contoh kasus keberadaan NKRI sebagai inisiator, pendiri dan anggota ASEAN, tidak serta merta menjadi anggota SEATO. Pilihan yang didasarkan pada politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif (tak berpihak dan aktif dalam terciptanya perdamaian dunia). Maka KAAKdan KTT Nonblok pun menjadi media aktualisasi bentuk kerjasama Indonesia diperhatikan dunia dimasa akhir akhir PD ke-2 hingga akhir perang dingin belum lama berselang.
Kembali kepada masalah kelembagaan negara bahwa penguatan fungsi-fungsi kelembagaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif dan kepolisian serta HANKAM), maka dinamika pergaulan Internasional menuntut semua negara menegaskan fungsi-fungsi tersebut sebagai bagian dari karakteristik negara maju yang salah satu indikatornya adalah pelaksanaan HAM dan Demokrasi.
Pelaksanaan pemerintahan presidensial yang dianut di republik ini, jika tidak disinergikan dalam hubungan yang benar sesuai amanat UUD akan menjadikan negara ini terjebak diketertinggalan pelaksanaan demokrasi. Sehubungan dengan hal tersebut, saya teringat pada materi dasar pengenalan negara-negara berkembang di pembelajaran Geografi, dimana pada pengkajian salah satu negara, yakni Afsel terdapat satu informasi yang unik tentang pusat pemerintahan mereka, yakni terpolarisasi di tiga kota, yakni Captown untuk Eksekutif, Pretoria untuk legislatif dan Bloomfontein untuk Yudikatif. Walau negara ini baru terbebas dari konflik berkepanjangan, karena masalah kebijakan politik dalam negeri yang sangat diskriminatif, Apartheid hingga lengsernya Botha yang digantikan Nelson Mandela, tetapi bukan suatu hal yang tidak mungkin, NKRI yang luas ini meniru polarisasi pusat pemerintahan seperti mereka.
Perlu kajian lebih mendalam tentang hal ini, tetap badan seperti BAPPENAS, sepertinya sangat mumpuni untuk melakukan kajian dan mewakili eksekutif mengusulkannya ke DPR.
Jika pun wacana yang saya sampaikan ini dianggap kurang relevan, setidaknya memberikam contoh pada siswa-siswa saya tentang bagaimana berpikir komprehensif atas dinamika politik kontemporer khas NKRI saat ini, yakni pemindahan ibu kota negara.
Ade Fathurahman
SMANSA
Maka bukan hal yang aneh, jika lulusan Jurusan IPS produk kedua kurikulum ini (84 & 94) umumnya familiar dengan istilah-istilah siklus polibius beserta tahapan-tahapannya, Aliran-aliran tata negara berdasarkan kedaulatan beserta tokoh-tokohnya, walau tidak menyeluruh (parsial). Beberapa pembagian fungsi kelembagaan negara pun diperkenalkan, sehingga alumni IPS produk kurikulum ini, umumnya familiar, setidaknya pernah mengenal istilah-istilah lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Beberapa contoh negara pun dijelaskan di Mata Pelajaran Tata Negara ini. Maka, istilah catur praja dan tri praja pun menjadi bagian yang diajarkan dan familiar sebagai pengetahuan khas Jurusan IPS.
Mungkin saja, Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan saat ini telah menggantikan merangkum fungsi edukasi dari Mata Pelajaran Tata Negara ini kedalam pokok bahasan lainnya sebagai pelengkap dari kajian utamanya, membahas GEO politik NKRI.
Pada mata pembelajaran lainnya, di Mata Pelajaran Geografi (KBK, KTSP dan K-13), pembahasan negara disuguhkan dalam KD yang membahas tentang karakteristik negara berkembang dan negara maju yang secara khusus dikaitkan dengan kerja-sama yang terjadi diantara keduanya. Sepertinya, para perumus kurikulum ingin menyampaikan pesan edukasi tentang posisi NKRI dalam pergaulan dunia.
Kerjasama bilateral, regional, maupun multilateral telah berkembang sedemikian rupa, sehingga jenis kerjasama yang pada zaman dulu hanya berkutat pada masalah pelaksanaan kenegaraan (eksekutif), juga berkembang juga pada kerjasama bidang legislatif dan yudikatif serta kepolisian.
Mengingat betapa semakin spesifiknya jenis kerjasama yang dilakukan antar negara, sebagai contoh kasus keberadaan NKRI sebagai inisiator, pendiri dan anggota ASEAN, tidak serta merta menjadi anggota SEATO. Pilihan yang didasarkan pada politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif (tak berpihak dan aktif dalam terciptanya perdamaian dunia). Maka KAAKdan KTT Nonblok pun menjadi media aktualisasi bentuk kerjasama Indonesia diperhatikan dunia dimasa akhir akhir PD ke-2 hingga akhir perang dingin belum lama berselang.
Kembali kepada masalah kelembagaan negara bahwa penguatan fungsi-fungsi kelembagaan negara (eksekutif, legislatif, yudikatif dan kepolisian serta HANKAM), maka dinamika pergaulan Internasional menuntut semua negara menegaskan fungsi-fungsi tersebut sebagai bagian dari karakteristik negara maju yang salah satu indikatornya adalah pelaksanaan HAM dan Demokrasi.
Pelaksanaan pemerintahan presidensial yang dianut di republik ini, jika tidak disinergikan dalam hubungan yang benar sesuai amanat UUD akan menjadikan negara ini terjebak diketertinggalan pelaksanaan demokrasi. Sehubungan dengan hal tersebut, saya teringat pada materi dasar pengenalan negara-negara berkembang di pembelajaran Geografi, dimana pada pengkajian salah satu negara, yakni Afsel terdapat satu informasi yang unik tentang pusat pemerintahan mereka, yakni terpolarisasi di tiga kota, yakni Captown untuk Eksekutif, Pretoria untuk legislatif dan Bloomfontein untuk Yudikatif. Walau negara ini baru terbebas dari konflik berkepanjangan, karena masalah kebijakan politik dalam negeri yang sangat diskriminatif, Apartheid hingga lengsernya Botha yang digantikan Nelson Mandela, tetapi bukan suatu hal yang tidak mungkin, NKRI yang luas ini meniru polarisasi pusat pemerintahan seperti mereka.
Perlu kajian lebih mendalam tentang hal ini, tetap badan seperti BAPPENAS, sepertinya sangat mumpuni untuk melakukan kajian dan mewakili eksekutif mengusulkannya ke DPR.
Jika pun wacana yang saya sampaikan ini dianggap kurang relevan, setidaknya memberikam contoh pada siswa-siswa saya tentang bagaimana berpikir komprehensif atas dinamika politik kontemporer khas NKRI saat ini, yakni pemindahan ibu kota negara.
Ade Fathurahman
SMANSA
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membacanya. Sangat saya hargai, jika anda mengisi kolom komentar disini.