(Mencermati
Polemik antara Saudara Dudung Koswara dan Saudara Ade Munajat berkenaaan
Tulisan tentang Guru Sangkuriang)
Dunia
pendidikan adalah dunia normatif, dunia penuh dengan nilai, sehingga kesalahan
sekecil apapun yang terdapat dalam profesi Guru PNS, akan menjadi sorotan.
Pertanyaannya : “adilkah perlakuan tersebut ?.” Jawaban dari pertanyaan itu
harus menyamankan perasaan masyarakat yang berstatus sebagai user layanan pendidikan yang kita
laksananakan.
Profesi
guru itu adalah “mendidik”, diamana pekerjaan ini sangat kental dan bahkan
identik dengan da’wah. Kedekatan ini
pula mendekatkan peran guru dengan gelar ulul
albab, bahkan ‘ulama bagi
guru-guru yang menekuni spesifikasi bidang khusus keagamaan dalam Islam. Pada
tataran normatif para ulama itu digelari dengan gelar yang sangat tinggi, yakni
“wara’satul anbiya”, sehingga secara
genetik guru merupakan “keturunan akademik” dari para nabi.
Sudah
tidak zamannya lagi Guru PNS yang tersertifikasi menjadi bagian dari warga
negara yang berkeluh kesah atas profesinya, karena memang tidak memiliki
pilihan lain, selain berusaha melaksanakan tupoksinya secara baik atau mundur
tergantikan dengan gelombang generasi yang lebih baik. Sudah tidak zamannya
lagi guru kebakaran jenggot, ketika mendapatkan kritikan perbaikan kinerja dari
luar profesi, atau bahkan otokritik
dari rekan sejawat seperti yang dilakukan oleh Saudara Dudung Koswara dalam
tulisannya di media cetak ini seminggu yang lalu. Ya, memang ada pentamsilan/ penganalogian atau “metapora” (mengambil istilah yang dipakai
Saudara Ade Munajat) yang kurang tepat dengan istilah Guru Sangkuriang dan
Murid Malinkundang (kurang bil hikmah wal
mau’idlatul hasanah), namun
kekurang-tepatan itu tidak lantas kemudian menempatkan posisi Guru PNS menjadi
para malaikat yang suci dan bebas kritik atas kinerjanya atau menapikkan adanya
pola pendidikan ‘nyaah dulang” yang mengintervensi keputusan-keputusan otoritas
persekolahan, bahkan di sekolah-sekolah RSBI sekalipun. Penempatan huruf R dalam
singkatan RSBI selama bertahun-tahun (lebih dari 3 tahun) pada beberapa sekolah
RSBI pun menunjukkan kelemahan kita yang ternyata tidak bisa memenuhi targetan
waktu seperti yang diharapkan, karena berkenaan dengan kesenjangan antara
konseptual program dengan kontekstual pendidik dan peserta didik dalam
pemenuhan 8 Standar Pengelolaan Pendidikan Nasional diamanatkan Permendiknas No. 19 Tahun 2007.
Merebaknya demo yang dilakukan para guru
honorer untuk diangkat menjadi PNS serta membludaknya pendaftaran menjadi Guru
PNS menempatkan Negara atau Rakyat Indonesia memiliki bergaining position yang kuat dibandingkan pelayan pendidikannya
(Guru PNS).
Kita
bukan pemberi tahu, melainkan pengingat..
Begitulah kira-kira kata padanan yang tepat untuk kewajiban da’wah kita sebagai sebaik-baik ummat (khairu ummah) yang memiliki tugas ta’muruuna bil ma’ruf wa tanhauna ‘anil
munkar.
Indah,
ketika mendengar kedekatan tugas kita sebagai guru dengan para nabi,
insan-insan yang senantiasa mendapatkan perhatian ALLAH dalam perjalanan
hidupnya. Pada tataran ini, ALLAH sekali lagi menegaskan pada kita bahwa profesi guru itu profesi yang sangat lekat
dengan shirah kenabian, walau secara syar’i kita meyakini bahwa Muhammad SAW
merupakan Khatamun nabiyyin.
K.H.
Isa Anshary, dalam Bukunya yang melegenda, “Mujahid Da’wah,” menegaskan bahwa
pilihan menjadi penda’wah adalah bukan pilihan yang akan menghadapkan kita pada
kemegahan dunia secara materil, melainkan sebuah perjalanan panjang berliku
yang penuh dengan halangan dan rintangan. Mengambil posisi dijalan da’wah
berarti nawwaitu dengan sepenuh hati
mewakafkan diri pada shirah yang jauh dari dunia hedonistik dan individualistik.
Pada
konteks Periode Da’wah Madaniyah,
beberapa shahabat nabi tidak diberangkatkan ke medan pertempuran, karena
memiliki kemampuan menghapal ayat-ayat
yang diturunkan kepada Nabi (Al Quran dan
Hadits Qudsi) serta tutur kata Nabi (Hadits).
Shahabat nabi yang istimewa seperti inilah yang kemudian sehari-harinya
disibukkan dengan kegiatan belajar-mengajar Agama islam, belajar kepada nabi
dan mengajar kepada para penganut Islam yang datang kemudian. Untuk
shahabat-shahabat seperti ini, atas perintah nabi, Baitul Maal yang menampung zakat, infak dan shadaqah Kaum Muslimin,
mengalokasikan dananya dengan memasukannya pada “asnab fisabilillaah.”
Pertanyaannya
sekarang, Bagaimanakah kedudukan guru PNS, apabila dianalogikan atau
ditamsilkan denga Periode Da’wah Madaniyah ?. Jawabanya, guru yang sudah
menyandang PNS adalah sekelompok warga negara
yang diistimewakan negara dengan mendapatkan penghidupan dari pajak yang
dikumpulkan dari seluruh warga negara. Mengapa semua warga negara ?.
Jawabannya, karena semua barang yang dikonsumsi oleh warga negara meiliki
konsekuensi pembayaran pajak langsung, terlepas dari besar atau kecilnya.
Sebagai contoh : seorang anak tuna wisma yang menkonsumsi susu kaleng, ataupun
karena keterpaksaannya harus mengkonsumsi barang sejenis yang lebih murah dari
kios kecil disekitar rumahnya akan terkena pajak langsung dari kelebihannya
membayar harga yang diatas harga pokok produksi plus rabbat bagi pengusahanya,
karena harga kebanyakan barang yang
dikenakan pada konsumen di Indonesia merupakan harga yang sudah menyertakan
penambahan nominalnya yang dieruntukan bagi pembayaran pajak industri. Belum juga, jika bapaknya yang
tuna wisma itu, juga merokok, maka dia secara otomatis menjadi pembayar pajak
yang “patuh” dengan kontribusi yang cukup besar, bergantung pada tingkat
kecanduannya. Merujuk pada keistimewaan yang diberikan negara yang demikian
hebat untuk Guru PNS, maka berbondong-bondonglah sebagian masyarakat yang
dulunnya meremehkan profesi Guru PNS menjadi tertarik untuk menekuni pofesi ini
dengan harapan mendapatkan ‘jaminan masa depan” dari fasilitas yang disediakan
negara melalui penggajian dan sertifikasi. Hal ini tidak menjadi masalah,
apabila dalam peerjalanannya, seseorang yang memilih profesi Guru PNS bersiap
dengan berbagai konsekuensi logisnya.
Berkenaan
dengan hal lain yang dianjurkan Saudara Ade Munajat pada PGRI diakhir
tulisannya berkenaan dengan Saudara Dudung koswara, maka menurut saya Program PGRI
saat ini lebih baik dikonsentrasikan pada pembekalan-pembekalan mental dan
spiritualitas Guru agar menjadi insan-insan yang Syukur Ni’mat, ketika
mendapatkan kepercayaan masyarakat mendapatkan jaminan penggajian dan
sertifikasi dari negara melalui peningkatan kinerja dan otokritik/ muhasabah untuk
mengembalikan guru mengenal kesejatiannya
(Tazkiyatun nafs ilaa ma’rifatul insan).
Pemberian tegoran, karena kesalahan
teknis, berupa kesalahan penganalogian legenda fiktif kedalam realitas
dunia pendidikan tidak lantas menjadi sebuah langkah yang cerdas, karena
penggunaan Sangkuriang disana bukan dimaksudkan pada keseluruhan kareakter,
melainkan pada penggalan episode Sangkuriang yang kesiangan. Sekali lagi, kesiangan,
minus karakter Oedipus complexnya. Adapun kesalahan metapora Malinkundang
kepada para siswa bermasalah, memang seharusnya dihindarkan, karena akan
memberikan pencitraan yang tidak baik bagi guru, karena pemberian gelar
tersebut bisa menjadi do’a dan dapat dikatergorikan sebagai bullying, bila
diketahui oleh siswa yang bersangkutan. Justeru, karena produktifnya Saudara
Dudung Koswara harus diwadahi di PGRI yang sekaligus dibekali dengan
skill-skill yang menunjang kearah yang lebih shaleh dalam penyampaian
asumsi-asumsi atas dasar observasi yang akurat di masa mendatang.
Akhirnya,
salam hangat untuk semua Guru, Semoga Allah anugerahkan kita rezeki
keistiqomahan dalam syukur ni’mat. Tetap semangat melayani dan menjadikan
hambatan, kkritik, celaan, hinaan sebagai media muhasabah kita dan
menjadikannya sebagai bagian dari kifarat atas kesalahan-kesalahan dan dosa kita dalam melayani masyarakat
pendidikan yang diembankan Allah melalui negara dan masyarakat kepada kita.
Diberkatilah
Guru Indonesia, Berwibalah Pendidikan Indonesia !
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih telah membacanya. Sangat saya hargai, jika anda mengisi kolom komentar disini.